Rabu, 28 Desember 2011

2958dpl

Isa Kirana
17 Desember 2011

Keluar zona nyaman...

Hari ini aku akan mendaki puncak Pangrango!

Aku dibangunkan sekitar pukul satu pagi. Sebelumnya, aku hanya dapat tidur tiga jam saja. Dia membangunkanku, pacarku :)

Dalam petualanganku kali ini, aku pergi bersama dia, juga iparku - keponakannya, dan teman-temannya.

Pada pukul dua, kami berangkat menuju Cibodas.
Setelah melewati jalanan yang berliku-liki, akhirnya kami tiba.

Sambil menunggu yang lain datang, kami berkumpul dulu di sebuah warung, sekaligus sarapan. Pagi hari ini, kuisi perutku dengan semangkuk bubur ayam dan segelas teh manis panas. Nikmatnya...

Setelah makan, aku menoleh ke langit... ternyata matahari mulai terbit. Waktunya bagi kami untuk berpetualang!

Pagi ini sungguh dingin. Sudah lama aku tidak menggigil seperti ini. Kami pun segera berlindung dalam jaket. Sebagian, memberi kehangatkan tambahan melalui tiap isapan rokok.

Setelah mengemasi barang-barang untuk yang terakhir kalinya, kamipun berjalan kaki ke Taman Nasional. Petualangan akan segera dimulai! Hatiku berdebar kencang karena ini adalah pengalaman pertamaku mendaki gunung. Cemas, mungkin itu yang paling tepat untuk menggambarkan perasaanku.

---

Jalanan berbatu ini sudah pernah kulewati sebelumnya. Aku masih ingat betapa lelahnya kakiku menelusuri mereka. Kali ini, aku jalan perlahan-lahan. Aku berjalan bersama dia :)

Setelah berjalan kurang lebih satu jam, kami tiba di perhentian pertama: Telaga Biru.
Seperti namanya, tempat itu memiliki sebuah telaga berwarna biru yang berasal dari ganggang. Aku melihat lima ikan mas berenang-renang ke permukaan. Konon, ikan-ikan itu jarang muncul, sehingga jadi pertanda keberuntungan bagi yang melihatnya.

Di sana, kami beristirahat sejenak sambil menyantap kudapan dan menyeruput segelas teh panas manis. Membiarkan tubuh kami menyesuaikan diri dengan cuaca. Setelah itu, kami berjalan lagi. Kami berjalan menyusuri jembatan-jembatan kayu yang sudah rusak, walaupun beberapa bagian telah diperbaiki. Aku berjalan dengan hati-hati melewati kayu-kayu yang bergoyang itu.

Kali ini, aku tidak menikmati air terjun, tetapi langsung berbelok ke jalan setapak menuju gunung. Inilah tantanganku yang sebenarnya. Dengan membawa beban di punggung, aku melewati bebatuan terjal di hadapanku.

Ada beberapa orang yang berkata bahwa pergi naik gunung akan menunjukkan sifat asli seseorang. Aku tahu betul sifatku yang manja, terbiasa dengan segala kenyamanan yang ditawarkan oleh lingkunganku. Dalam hatiku, aku benar-benar mendambakan hangatnya lautan serta lembutnya pasir di telapak kakiku. Tapi, pikiranku berkata bahwa aku harus bisa melewati semua ini.

Perjalanan ini membutuhkan kesabaran, dan itulah tantangan terbesarku...

---

Setiap menemukan tempat beristirahat, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk meluruskan kakiku sedikit, sambil makan biskuit.

Di perjalanan, aku menemukan mata air. Lalu, aku mengisi botol minum sampai penuh. Kuteguk air itu, segarnya...

Aku tidak membawa air minum sendiri, karena tasku sudah tidak cukup. Aku malah meminta dia untuk berbagi denganku. Oops...


Sekitar pukul 11, perut sudah lapar kembali. Ketika itu, aku berjalan dengan dia dan keponakan iparku. Kami berjalan menuju Air Panas, di mana semuanya akan berkumpul. Setelah jalan cukup lama dan melelahkan, kami tak kunjung menemukan tempat itu. Setiap mendengar suara orang dari kejauhan, kami kira mereka adalah rombongan kami, namun selalu rombongan lain.

---

Di hadapan kami, jalanan tergenang air panas. Tandanya, sebentar lagi kami akan bertemu dengan rombongan kami dan makan siang!

Ternyata, kami harus melewati lintasan air panas. Di sebelah kanan kami adalah air terjun! Untungnya ada tali-tali panjang untuk berpegangan dan batu-batu untuk berpijak. Aku dapat merasakan kehangatan airnya di balik sepatuku.

Setelah melewati rintangan itu, akhirnya kami bertemu dengan rombongan kami. Akupun langsung meletakkan tas dan bersiap untuk makan, kemudian berisirahat sebentar. Setelah itu, perjalanan berlanjut. Aku dan dia jalan lebih dulu, meninggalkan beberapa teman yang masih merapikan barang-barang.

Kami berjalan lagi sekitar pukul 13. Jalanan semakin menanjak dan melelahkan kaki. Aku tak sanggup berjalan lagi rasanya, seluruh otot kakiku sudah mengejang. Alhasil, baru seperdelapan perjalanan, aku sudah menepi di bebatuan. Dia menungguku dengan sabar :)

Aku meluruskan kakiku sambil mengobrol dengan dia. Lalu kami berjalan lagi...

Dia, dalam keadaan tidak tidur, masih bisa bercanda-tawa bersamaku. Dia menarik tanganku setiap tanjakan berat, memegang tanganku ketika aku tidak memercayai setiap pijakan di depanku. Lalu, setelah aku menolak beberapa kali, akhirnya aku membiarkan dia membawakan ranselku. Dia... Zona nyamanku.

---

Pada pukul 15, kami tiba di Kandang Badak. Rombongan memutuskan untuk bermalam di sini, kemudian melanjutkan pendakian esok pagi.

Setelah tenda-tenda didirkan, aku dan dia segera beristirahat...

Aku hanya bisa tidur sebentar, lalu aku mengintip ke luar tenda. Di luar sudah ramai orang menyiapkan makan malam. Sementara itu, hujan mengguyur bumi, disertai tiupan angin dingin yang mengguncang dedaunan. Lalu kubangunkan dia agar makan dulu. Setelah itu, kami tidur lagi...

Setelah 1,5 jam, kami terbangun lagi. Di luar, orang-orang sedang bermain catur, menenggak beberapa gelas minuman, bersenang-senang...

Aku dan dia lapar lagi...
Lalu kami diajarkan cara memakai kompor. Spiritus dituangkan terlebih dahulu, kemudian api dinyalakan dengan pemantik. Aku memasak mie untuk kami.

Sambil makan, kami mendengar alam pikiran bebas orang-orang.
Tertawa... Mengakhiri malam ini...

---

18 Desember 2011


Rencananya, kami akan mendaki pada pukul tiga. Ternyata, hujan terus mengguyur hingga pukul enam. Akhirnya, aku dan dia tetap berlindung di dalam kantung tidur, sementara yang lain membicarakan tentang kejadian semalam. Semua tertawa...

---

Dia...
Orang terakhir yang kulihat sebelum tidur,
orang yang kulihat ketika aku terbangun di tengah malam,
dan orang pertama yang kulihat saat terbangun di pagi hari.

---

Pukul 07.28, aku masih di dalam tenda menunggu hujan reda... menantikan petualangan berikut sekaligus yang terakhir pada hari ini. Beberapa saat kemudian, hujan telah berhenti. Sayangnya, puncak Pangrango masih tertutup kabut tebal. Akhirnya, kami berganti haluan ke puncak Gede.

---

Di hadapanku adalah bebatuan curam. Cara satu-satunya untuk ke atas adalah dengan memanjat bebatuan itu. Keren sekali! Memanjat bebatuan seperti ini adalah cita-citaku! Akhirnya kesampaian juga. Bisa dibilang ini seperti rock climbing, walau jauh lebih kecil resikonya.

---

Menambah ketinggian 500 meter, mendaku bebatuan terjal, menembus pepohonan, melawan hembusan angin...

Akhirnya kami tiba di Kawah Gunung Gede. Sejauh mata memandang, hanya terlihat kemegahan alam. Betapa kecilnya diriku dibandingkan semua ini.

Setelah mengambil beberapa foto, kami berjalan lagi menuju puncak. Beberapa saat kemudian, kami sudah bersanding dengan awan. Aku dan dia tiba paling pertama. Setinggi 2958dpl, kubawa hatiku :)

Ternyata, puncak Gede bukanlah puncak dari keindahan petualangan kali ini. Kami turun beberapa meter, menuju Surya Kencana. Padang Edelweiss, bunga abadi...

Sayangnya, ketika kami tiba di sana, kabut sangat tebal. Sepanjang Surya Kencana, kami ditiup angin dingin. Kabut begitu tebal menyelimuti pohon-pohon Edelweiss, sehingga samar-samar terlihat. Namun, ada kalanya kabut menipis, sehingga terlihat lembah Gunung Gede yang megah, berhiaskan pohon-pohon Edelweiss yang kerdil. Aku membayangkan jika kabut ini tidak ada...hanya sinar menatari yang terpancar di lembah ini, maka sungguh tepat pemberian nama Surya Kencana.

Di sampingku ada dia. Bersama, kami menikmati misteri alam ini...

---

Setelah berjalan agak panjang, kami kembali berhadapan dengan hutan. Kali ini kami harus menuruni jalan setapak. Ternyata, menahan berat badan ketika turun, jauh lebih menyakitkan ketimbang saat menanjak. Aku tidak kuat... kakiku bergetar. Aku tahu, diapun juga lelah, tetapi dia tetap memapahku...

Kurang lebih enam jam aku berusaha mencapai dasar. Hingga gelap dan sepi, hanya tersisa kami...

Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku, bahwa aku akan berada di tengah hutan, lalu ladang, sampai jam 10 malam...

Ah, tangga-tangga itu... Mimpi buruk!

---

Akhirnya, kami sampai juga di perkampungan!

Membawa turun kisah perjalanan, kembali menyusuri peradaban...

Isa Kirana / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar