Rabu, 27 Juli 2011

Nerusi Batik

Isa Kirana
Kota Batik terletak di tepi Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah. Di peta, kota ini bernama asli Surakarta, tetapi aku sendiri lebih akrab dengan nama Solo.

Solo adalah tanah kelahiran leluhur dari garis ibuku.
Dari sanalah segala tradisi keluarga berasal, untuk selamanya diteruskan ke anak-cucu.

Sejak kecil sebelum memiliki daya ingat yang cukup, orang tuaku sudah mengajakku ke Solo. Setiap tahun pasti satu keluarga meluangkan waktunya untuk ke Solo. Ketika aku masih usia sekolah, aku senang sekali kalau bisa izin tidak masuk karena harus ke Solo.

Semakin aku beranjak dewasa, aku menyadari bahwa kegiatan ini bukan semata-mata untuk rekreasi keluarga, tetapi juga untuk nerusi yang selama ini telah menjadi tradisi keluarga. Setiap kunjunganku ke Kota Solo adalah proses pengukuhan jati diriku sebagai keturunan Jawa. Seperti dalam membatik, ada proses nerusi yang berarti mengkuti pola pembatikan pertama pada tembusannya supaya lebih tebal warnanya. Moyangku adalah pola pertama, sedangkan keturunannya termasuk aku adalah tembusannya yang harus diperjelas.

***

Kegiatan yang dilakukan di Solo adalah tradisi keluarga...

Jika pergi ke Solo, sudah barang tentu aku mengunjungi tempat-tempat yang sama setiap tahunnya. Lama menginap di sana pun hampir selalu tiga hari dua malam. Hari pertama biasanya setelah check-in di hotel, kami makan siang di Soto Gading (ada juga yang mirip-mirip di daerah Triwindu). Setelah itu kami santai-santai di kamar sambil menunggu hari gelap, lalu makan malam nasi liwet "Bu Wongso Lemu" di daerah Keprabon.

Keesokan harinya, kami mengarah ke "Utara Laya" atau "Makam Utara" di Jl. Nayu, untuk nyekar leluhur dan keluarga. Sesampainya di sana, kami selalu disambut ramah oleh saudara ibu dan para keturunan abdi dalem yang menjaga pemakaman. Kami singgah sebentar di pendopo untuk menikmati teh Jawa yang manis dan hangat, kemudian nyekar.

Proses nyekar pun tidak langsung menebar bunga di sekeliling nisan, tetapi diawali dengan doa bersama. Setelah itu, barulah ke makam-makam yang hendak dikunjungi. Urut-urutannya selalu seperti ini: moyang-buyut-kakek-keluarga besar, tidak boleh terbalik.

Setelah nyekar, kami kembali ke pendopo untuk makan siang. Biasanya sambil menunggu makanan, kami disuguhi teh Jawa dan kudapan khas Solo, yaitu Sosis Solo dan Serabi Solo. Kedua makanan itu sangat nikmat untuk dimakan bergantian, karena yang satu gurih dan yang lainnya manis. Tanpa disadari perut sudah mulai penuh, tetapi masih ada Tengkleng dan Tongseng yang harus dimakan. Begitulah Solo, dihujani berkah makanan-makanan enak.

Selanjutnya, kami ke toko kue "Orion" di Jl. Urip Sumoharjo. Di sinilah tempat membeli segala oleh-oleh atau titipan kerabat di Jakarta. Kalau ke sini, sudah pasti membeli beberapa kotak kue lapis Surabaya. Entah kebetulan atau tidak, setiap kali ke sini pasti semuanya dalam keadaan haus dan kepanasan, sehingga yang pertama dihampiri ketika masuk toko adalah kulkas minuman yang terletak di pintu masuk toko.

Pada malam harinya, kami makan Chinese Food di restoran "Centrum" Jl. RE Martadinata, mengakhiri napak tilas di Solo. Ini adalah restoran kenangan keluarga ibuku. Sejak mereka masih kecil, almarhum eyang kakung selalu menyempatkan diri untuk makan malam di sini.

Keesokan harinya, kami bergegas kembali ke Jakarta.

Isa Kirana / Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar