Touch Me.
Hardware accelerated using
CSS3 for supported iOS
Responsive.
Respond to change in browser
width and adjust automatically
Flexible.
Run multiple sliders on
the same web page
Customize.
Set momentum, elasticity,
scrollbars and more...

Senin, 18 Februari 2013

A Scrap (1)

Isa Kirana
Ketika langit tak berpihak dan bumi pun menolak,
kami hanyalah tiang tanpa pancang...

Musibah tiada yang meminta, pun kami tidak dapat memilihnya
Kami tiada menahu kapan musibah datang, namun ia minta diterima

Ketika musibah datang, semua orang pergi
Semua hanya berani mengintip dari jendela

Maka, tiada kawan bagi kami
Maka, jendela pun kami tutupi

Karena hanya ada kami untuk kami




Senin, 06 Agustus 2012

一个新的开始 (A New Beginning)

Isa Kirana
September 2011
Menyambut harapan-harapan baru...

Satu bulan yang lalu, aku mendaftar kursus Bahasa Mandarin di Spring College International, Singapura. Aku kira, aku bukan tipe orang yang berani untuk belajar di luar negeri... namun, ketika itu ada dorongan yang kuat untuk mendaftar kursus Bahasa Mandarin. Tentu saja aku mempertimbangkannya terlebih dahulu... toh hanya dua minggu dan yang akan aku lakukan adalah hal yang aku senangi, yaitu belajar bahasa. Lagipula, orang-orang terdekatku selalu mendorongku untuk belajar di luar negeri, termasuk belajar hidup sendiri. Aku menganggap Singapura adalah tempat yang cocok untuk memulai langkah itu untuk pertama kalinya. Selain telah familiar dengan negara/kota ini, aku juga percaya bahwa Singapura adalah tempat yang aman untuk berpetualang sendirian.

Perlahan-lahan aku mencoba melepaskan diri dari ketergantungan akan orang-orang terdekatku.

4 September 2011
Berangkat ke Singapura...

Aku diantar ibu dan kakakku yang kebetulan ada acara di sana. Awalnya, kami menginap di salah satu hotel di Chinatown. Kamar di hotel ini sangat sempit sehingga membatasi gerak kami. Satu langkah dari tempat tidur sudah ada televisi, lalu tiga langkah ke kanan sudah kamar mandi dan pintu keluar. Ini adalah pengalaman yang menggelikan bagi kami bertiga... Sepanjang malam kami menertawai nasib kami yang kesempitan.

5 September 2011
Hari yang baru :)

Pagi ini kami sarapan di dekat hotel. Untungnya mencari makanan murah dan enak bukanlah hal yang sulit di negara/kota ini. Lalu, kami naik MRT ke daerah Newton untuk mengunjungi om yang kebetulan sedang berobat. Di sana, aku juga bertemu dengan sepupuku. Setelah mengobrol, ternyata dia juga pernah kursus Bahasa Mandarin di tempat kursusku nanti. Wah, aku jadi makin semangat!

Tidak lama kemudian, aku berangkat ke daerah Bishan naik MRT bersama ibuku; di sana tempat kursus Bahasa Mandarinku. Turun dari MRT, kami berada di dalam Mal Junction 8... Lalu aku mengambil peta dari dalam tas dan mencari alamat tempat kursusku. Ternyata tidak jauh, kami hanya perlu berjalan sedikit melewati terminal bus, lalu ke kanan. Di sini rupanya... BLK Bishan Street 13...

"Spring College International"

Itu tulisan yang aku baca di sebelah sebuah pintu. Lalu aku coba buka pintunya... Terkunci. Aneh...
Aku coba cari pintu lain... Ternyata beberapa langkah dari pintu pertama ada pintu lagi dengan tanda SCI di sebelahnya. Aku masuk ke dalam dan terdapat sebuah lift... Kutekan tombol lantai paling atas menuju SCI.
Benar, di sini tempatnya. Aku dan ibu berjalan ke sebuah pintu putih, lalu kami masuk ke dalam. Di depanku terlihat beberapa meja dengan resepsionisnya masing-masing. Aku duduk di kursi yang masih kosong dan segera berbicara dengan resepsionisnya. Aku menjelaskan bahwa aku telah mendaftar online sebelumnya, dan akan mengikuti kelas pada siang ini. Ketika sedang mengurus administrasi, seorang perempuan kira-kira seusiaku masuk ke dalam ruangan, kemudian ia juga duduk mengurus administrasi. Setelah aku selesai dengan urusan administrasi, aku berpisah dengan ibu. Sementara itu, perempuan yang tadi ternyata orang Indonesia juga dan dia menjadi teman sekelasku, bahkan teman sebangku.

Dari bagian administrasi, kami langsung diantarkan ke kelas oleh laoshi* kami. Ternyata, pintu yang tadi terkunci itu adalah tempat kelas-kelas SCI berada. Terdapat tiga ruangan, kami belajar di ruangan yang tengah. Aku duduk di samping teman baruku di barisan paling depan. Kami sekelas dengan orang-orang lain yang telah belajar lebih dahulu. Jadi, sistem mengajarnya tidak seperti di sekolah, di mana satu laoshi mengajar di depan kelas, akan tetapi laoshi menghampiri murid-muridnya dan mengajarkan materi sesuai dengan tingkatan masing-masing. Jadi, di dalam kelasku ada orang yang sudah fasih berbahasa Mandarin dan ada yang baru belajar sepertiku.

Ketika laoshi sedang mengajar murid lain, aku dan teman baruku mengobrol. Ternyata, latar belakang SMA kami tidak terlalu berbeda, bahkan teman sekolahnya dulu ternyata satu kampus denganku. Duniaku ternyata masih berputar di lingkaran yang sama...

Kami kursus dari pukul 13 hingga 16. Biasanya, tiga jam adalah waktu yang lama untuk belajar, namun kali ini tidak terasa sedikitpun. Mungkin karena ini adalah kegiatan yang benar-benar aku suka, selain itu laoshi juga ramah dan aku sudah ada teman baru, ditambah aku sudah pernah belajar Bahasa Mandarin ketika SMA dulu.

Ternyata, memulai sesuatu tidak sesulit yang kubayangkan :)

*laoshi = guru

Sabtu, 24 Maret 2012

Menyepi

Isa Kirana
Dalam kegelapan malam, aku mencari diri...
Ditemani seribu bintang, aku takkan tersesat...

Kuta, 23 Maret 2012

Malam Nyepi di Bali tak memberiku pilihan selain menikmati kebisingan alam dari teras kamar penginapanku.

Kemudian aku menuruni anak tangga ke lantai bawah, ingin tahu suasana di bagian lain tempat ini. Menapaki anak tangga perlahan-lahan, hingga tiba di pijakan terakhir.

Di lantai ini, lorongnya dihiasi cahaya lilin. Sesekali terdengar langkah orang berlalu-lalang, sepertinya mereka juga ingin tahu sepertiku.

Lalu aku kembali ke lantai atas, di mana semuanya benar-benar gelap. Aku kembali duduk di teras, mencari ketenangan diri.

Gelap, adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan Bali saat ini.

Aku bisa mendengar ombak yang menggulung kosong di pantai. Mungkin ia bertanya di mana yang biasa tergulung bersamanya, karena tidak ada orang seharian.

Desirannya bersaing dengan derikan jangkrik. Berlomba memecah keheningan malam.

Lalu aku menengadah, menyaksikan gugusan bintang di langit. Tiada bulan, hanya mereka yang berkelap-kelip menerangi malam ini.

Kupejamkan mata dan kuhela napasku. Menyadari kehadiranku di tengah malam. Aku ingin melepaskan segala resahku malam ini, dalam kebisuanku di antara kebisingan alam. Nyepi.

Senin, 12 Maret 2012

Menuju Kedewasaan (Bagian 1)

Isa Kirana
Dewasa...
Tuntutan pada diriku, dari diriku

Dewasa adalah perjalanan yang panjang, perjalanan yang berliku, perjalanan yang penuh tantangan. Perjalanan yang membawaku benar-benar jauh dari zona nyaman...

Tantangan tersulit harus kuhadapi setiap hari. Walaupun tubuhku berada di dalam zona nyaman, namun pikiranku dibawa pergi ke luar sana.

Aku tidak bisa menunjukkan kesedihanku, aku tidak mau menunjukkan amarahku, aku tidak boleh menunjukkan ketakutanku. Pikirku...

Aku sedang berjuang mati-matian mencapai kedewasaan. Atau aku telah meraihnya namun terkabur oleh kenaifan zona nyaman ini? Yang jelas, aku akan terus berjalan seumur hidupku... karena tuntutan ini akan selalu ada, berbeda dalam setiap situasi.

Sabtu, 25 Februari 2012

Suatu Malam di Kota Tua

Isa Kirana
24 Februari 2012
Dari santapan malam yang lezat hingga petualangan singkat...

Malam ini aku makan malam di rumah kakak. Pergi ke sana dijemput teman-temannya, terjebak lalu lintas hari Jumat Jakarta selama kurang lebih 1,5 jam. Luar biasa! Dalam keadaan seperti ini, segala pengetahuan jalan tikus langsung digunakan. Beruntunglah orang-orang yang intuisi serta ingatannya kuat.

Setibanya di sana, kami langsung disambut oleh sepiring penuh ayam panggang bumbu kacang, oseng-oseng pocay, dan beberapa potong brownies yang sudah disiapkan untuk empat orang. Kami yang baru terbebas dari kemacetan, ditambah dengan perut yang sangat lapar, langsung duduk dan menyantap semuanya sampai tak bersisa. Kakak memang pandai memasak!

Sambil menurunkan makanan, kami bermain kartu... Capsa, 41, dan permainan tukar nama. Puas sekali kami tertawa hingga perut kegelian dan menitikkan air mata.

Rencananya, setelah bermain kami mau nonton di bioskop. Tapi, kami keasyikan main hingga lupa waktu... terlalu malam untuk nonton. Jadi, aku mengusulkan agar kami jalan-jalan ke Kota Tua.

---

Pasar Malam Kota Tua...

Terakhir aku menikmati Kota Tua malam hari sekitar empat tahun yang lalu. Ketika itu belum ramai pedagang seperti sekarang, paling hanya penjual makanan, selain itu banyak orang duduk-duduk mengobrol dan berfoto. Malam ini, di alun-alun Museum Fatahillah aku melihat begitu banyak pedagang, mulai dari yang menjual makanan, pakaian, aksesoris, obat kulit, hingga yang menawarkan jasa pijat refleksi dan meramal.

Kami mengitari alun-alun secara singkat, lalu berbelok ke sebuah gang. Di depan sebuah gedung, ada sekelompok musisi jazz. Sambil menikmati alunan musiknya, kami melihat ke sekeliling kami... gedung-gedung tua bertuliskan bahasa Belanda. Sejenak, kami terbawa ke masa lalu, membayangkan Batavia abad 19. Lalu, lebih jauh lagi ketika Museum Fatahillah masih menjadi Stadhuis (Balai Kota), tempat pembantaian orang-orang Tionghoa. Sesungguhnya tempat ini memiliki nilai historis yang harus dilestarikan, sayangnya gedung-gedung tua ini hanya dibiarkan begitu saja.

Selamat malam.

Rabu, 28 Desember 2011

2958dpl

Isa Kirana
17 Desember 2011

Keluar zona nyaman...

Hari ini aku akan mendaki puncak Pangrango!

Aku dibangunkan sekitar pukul satu pagi. Sebelumnya, aku hanya dapat tidur tiga jam saja. Dia membangunkanku, pacarku :)

Dalam petualanganku kali ini, aku pergi bersama dia, juga iparku - keponakannya, dan teman-temannya.

Pada pukul dua, kami berangkat menuju Cibodas.
Setelah melewati jalanan yang berliku-liki, akhirnya kami tiba.

Sambil menunggu yang lain datang, kami berkumpul dulu di sebuah warung, sekaligus sarapan. Pagi hari ini, kuisi perutku dengan semangkuk bubur ayam dan segelas teh manis panas. Nikmatnya...

Setelah makan, aku menoleh ke langit... ternyata matahari mulai terbit. Waktunya bagi kami untuk berpetualang!

Pagi ini sungguh dingin. Sudah lama aku tidak menggigil seperti ini. Kami pun segera berlindung dalam jaket. Sebagian, memberi kehangatkan tambahan melalui tiap isapan rokok.

Setelah mengemasi barang-barang untuk yang terakhir kalinya, kamipun berjalan kaki ke Taman Nasional. Petualangan akan segera dimulai! Hatiku berdebar kencang karena ini adalah pengalaman pertamaku mendaki gunung. Cemas, mungkin itu yang paling tepat untuk menggambarkan perasaanku.

---

Jalanan berbatu ini sudah pernah kulewati sebelumnya. Aku masih ingat betapa lelahnya kakiku menelusuri mereka. Kali ini, aku jalan perlahan-lahan. Aku berjalan bersama dia :)

Setelah berjalan kurang lebih satu jam, kami tiba di perhentian pertama: Telaga Biru.
Seperti namanya, tempat itu memiliki sebuah telaga berwarna biru yang berasal dari ganggang. Aku melihat lima ikan mas berenang-renang ke permukaan. Konon, ikan-ikan itu jarang muncul, sehingga jadi pertanda keberuntungan bagi yang melihatnya.

Di sana, kami beristirahat sejenak sambil menyantap kudapan dan menyeruput segelas teh panas manis. Membiarkan tubuh kami menyesuaikan diri dengan cuaca. Setelah itu, kami berjalan lagi. Kami berjalan menyusuri jembatan-jembatan kayu yang sudah rusak, walaupun beberapa bagian telah diperbaiki. Aku berjalan dengan hati-hati melewati kayu-kayu yang bergoyang itu.

Kali ini, aku tidak menikmati air terjun, tetapi langsung berbelok ke jalan setapak menuju gunung. Inilah tantanganku yang sebenarnya. Dengan membawa beban di punggung, aku melewati bebatuan terjal di hadapanku.

Ada beberapa orang yang berkata bahwa pergi naik gunung akan menunjukkan sifat asli seseorang. Aku tahu betul sifatku yang manja, terbiasa dengan segala kenyamanan yang ditawarkan oleh lingkunganku. Dalam hatiku, aku benar-benar mendambakan hangatnya lautan serta lembutnya pasir di telapak kakiku. Tapi, pikiranku berkata bahwa aku harus bisa melewati semua ini.

Perjalanan ini membutuhkan kesabaran, dan itulah tantangan terbesarku...

---

Setiap menemukan tempat beristirahat, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk meluruskan kakiku sedikit, sambil makan biskuit.

Di perjalanan, aku menemukan mata air. Lalu, aku mengisi botol minum sampai penuh. Kuteguk air itu, segarnya...

Aku tidak membawa air minum sendiri, karena tasku sudah tidak cukup. Aku malah meminta dia untuk berbagi denganku. Oops...


Sekitar pukul 11, perut sudah lapar kembali. Ketika itu, aku berjalan dengan dia dan keponakan iparku. Kami berjalan menuju Air Panas, di mana semuanya akan berkumpul. Setelah jalan cukup lama dan melelahkan, kami tak kunjung menemukan tempat itu. Setiap mendengar suara orang dari kejauhan, kami kira mereka adalah rombongan kami, namun selalu rombongan lain.

---

Di hadapan kami, jalanan tergenang air panas. Tandanya, sebentar lagi kami akan bertemu dengan rombongan kami dan makan siang!

Ternyata, kami harus melewati lintasan air panas. Di sebelah kanan kami adalah air terjun! Untungnya ada tali-tali panjang untuk berpegangan dan batu-batu untuk berpijak. Aku dapat merasakan kehangatan airnya di balik sepatuku.

Setelah melewati rintangan itu, akhirnya kami bertemu dengan rombongan kami. Akupun langsung meletakkan tas dan bersiap untuk makan, kemudian berisirahat sebentar. Setelah itu, perjalanan berlanjut. Aku dan dia jalan lebih dulu, meninggalkan beberapa teman yang masih merapikan barang-barang.

Kami berjalan lagi sekitar pukul 13. Jalanan semakin menanjak dan melelahkan kaki. Aku tak sanggup berjalan lagi rasanya, seluruh otot kakiku sudah mengejang. Alhasil, baru seperdelapan perjalanan, aku sudah menepi di bebatuan. Dia menungguku dengan sabar :)

Aku meluruskan kakiku sambil mengobrol dengan dia. Lalu kami berjalan lagi...

Dia, dalam keadaan tidak tidur, masih bisa bercanda-tawa bersamaku. Dia menarik tanganku setiap tanjakan berat, memegang tanganku ketika aku tidak memercayai setiap pijakan di depanku. Lalu, setelah aku menolak beberapa kali, akhirnya aku membiarkan dia membawakan ranselku. Dia... Zona nyamanku.

---

Pada pukul 15, kami tiba di Kandang Badak. Rombongan memutuskan untuk bermalam di sini, kemudian melanjutkan pendakian esok pagi.

Setelah tenda-tenda didirkan, aku dan dia segera beristirahat...

Aku hanya bisa tidur sebentar, lalu aku mengintip ke luar tenda. Di luar sudah ramai orang menyiapkan makan malam. Sementara itu, hujan mengguyur bumi, disertai tiupan angin dingin yang mengguncang dedaunan. Lalu kubangunkan dia agar makan dulu. Setelah itu, kami tidur lagi...

Setelah 1,5 jam, kami terbangun lagi. Di luar, orang-orang sedang bermain catur, menenggak beberapa gelas minuman, bersenang-senang...

Aku dan dia lapar lagi...
Lalu kami diajarkan cara memakai kompor. Spiritus dituangkan terlebih dahulu, kemudian api dinyalakan dengan pemantik. Aku memasak mie untuk kami.

Sambil makan, kami mendengar alam pikiran bebas orang-orang.
Tertawa... Mengakhiri malam ini...

---

18 Desember 2011


Rencananya, kami akan mendaki pada pukul tiga. Ternyata, hujan terus mengguyur hingga pukul enam. Akhirnya, aku dan dia tetap berlindung di dalam kantung tidur, sementara yang lain membicarakan tentang kejadian semalam. Semua tertawa...

---

Dia...
Orang terakhir yang kulihat sebelum tidur,
orang yang kulihat ketika aku terbangun di tengah malam,
dan orang pertama yang kulihat saat terbangun di pagi hari.

---

Pukul 07.28, aku masih di dalam tenda menunggu hujan reda... menantikan petualangan berikut sekaligus yang terakhir pada hari ini. Beberapa saat kemudian, hujan telah berhenti. Sayangnya, puncak Pangrango masih tertutup kabut tebal. Akhirnya, kami berganti haluan ke puncak Gede.

---

Di hadapanku adalah bebatuan curam. Cara satu-satunya untuk ke atas adalah dengan memanjat bebatuan itu. Keren sekali! Memanjat bebatuan seperti ini adalah cita-citaku! Akhirnya kesampaian juga. Bisa dibilang ini seperti rock climbing, walau jauh lebih kecil resikonya.

---

Menambah ketinggian 500 meter, mendaku bebatuan terjal, menembus pepohonan, melawan hembusan angin...

Akhirnya kami tiba di Kawah Gunung Gede. Sejauh mata memandang, hanya terlihat kemegahan alam. Betapa kecilnya diriku dibandingkan semua ini.

Setelah mengambil beberapa foto, kami berjalan lagi menuju puncak. Beberapa saat kemudian, kami sudah bersanding dengan awan. Aku dan dia tiba paling pertama. Setinggi 2958dpl, kubawa hatiku :)

Ternyata, puncak Gede bukanlah puncak dari keindahan petualangan kali ini. Kami turun beberapa meter, menuju Surya Kencana. Padang Edelweiss, bunga abadi...

Sayangnya, ketika kami tiba di sana, kabut sangat tebal. Sepanjang Surya Kencana, kami ditiup angin dingin. Kabut begitu tebal menyelimuti pohon-pohon Edelweiss, sehingga samar-samar terlihat. Namun, ada kalanya kabut menipis, sehingga terlihat lembah Gunung Gede yang megah, berhiaskan pohon-pohon Edelweiss yang kerdil. Aku membayangkan jika kabut ini tidak ada...hanya sinar menatari yang terpancar di lembah ini, maka sungguh tepat pemberian nama Surya Kencana.

Di sampingku ada dia. Bersama, kami menikmati misteri alam ini...

---

Setelah berjalan agak panjang, kami kembali berhadapan dengan hutan. Kali ini kami harus menuruni jalan setapak. Ternyata, menahan berat badan ketika turun, jauh lebih menyakitkan ketimbang saat menanjak. Aku tidak kuat... kakiku bergetar. Aku tahu, diapun juga lelah, tetapi dia tetap memapahku...

Kurang lebih enam jam aku berusaha mencapai dasar. Hingga gelap dan sepi, hanya tersisa kami...

Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku, bahwa aku akan berada di tengah hutan, lalu ladang, sampai jam 10 malam...

Ah, tangga-tangga itu... Mimpi buruk!

---

Akhirnya, kami sampai juga di perkampungan!

Membawa turun kisah perjalanan, kembali menyusuri peradaban...

Rabu, 27 Juli 2011

Nerusi Batik

Isa Kirana
Kota Batik terletak di tepi Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah. Di peta, kota ini bernama asli Surakarta, tetapi aku sendiri lebih akrab dengan nama Solo.

Solo adalah tanah kelahiran leluhur dari garis ibuku.
Dari sanalah segala tradisi keluarga berasal, untuk selamanya diteruskan ke anak-cucu.

Sejak kecil sebelum memiliki daya ingat yang cukup, orang tuaku sudah mengajakku ke Solo. Setiap tahun pasti satu keluarga meluangkan waktunya untuk ke Solo. Ketika aku masih usia sekolah, aku senang sekali kalau bisa izin tidak masuk karena harus ke Solo.

Semakin aku beranjak dewasa, aku menyadari bahwa kegiatan ini bukan semata-mata untuk rekreasi keluarga, tetapi juga untuk nerusi yang selama ini telah menjadi tradisi keluarga. Setiap kunjunganku ke Kota Solo adalah proses pengukuhan jati diriku sebagai keturunan Jawa. Seperti dalam membatik, ada proses nerusi yang berarti mengkuti pola pembatikan pertama pada tembusannya supaya lebih tebal warnanya. Moyangku adalah pola pertama, sedangkan keturunannya termasuk aku adalah tembusannya yang harus diperjelas.

***

Kegiatan yang dilakukan di Solo adalah tradisi keluarga...

Jika pergi ke Solo, sudah barang tentu aku mengunjungi tempat-tempat yang sama setiap tahunnya. Lama menginap di sana pun hampir selalu tiga hari dua malam. Hari pertama biasanya setelah check-in di hotel, kami makan siang di Soto Gading (ada juga yang mirip-mirip di daerah Triwindu). Setelah itu kami santai-santai di kamar sambil menunggu hari gelap, lalu makan malam nasi liwet "Bu Wongso Lemu" di daerah Keprabon.

Keesokan harinya, kami mengarah ke "Utara Laya" atau "Makam Utara" di Jl. Nayu, untuk nyekar leluhur dan keluarga. Sesampainya di sana, kami selalu disambut ramah oleh saudara ibu dan para keturunan abdi dalem yang menjaga pemakaman. Kami singgah sebentar di pendopo untuk menikmati teh Jawa yang manis dan hangat, kemudian nyekar.

Proses nyekar pun tidak langsung menebar bunga di sekeliling nisan, tetapi diawali dengan doa bersama. Setelah itu, barulah ke makam-makam yang hendak dikunjungi. Urut-urutannya selalu seperti ini: moyang-buyut-kakek-keluarga besar, tidak boleh terbalik.

Setelah nyekar, kami kembali ke pendopo untuk makan siang. Biasanya sambil menunggu makanan, kami disuguhi teh Jawa dan kudapan khas Solo, yaitu Sosis Solo dan Serabi Solo. Kedua makanan itu sangat nikmat untuk dimakan bergantian, karena yang satu gurih dan yang lainnya manis. Tanpa disadari perut sudah mulai penuh, tetapi masih ada Tengkleng dan Tongseng yang harus dimakan. Begitulah Solo, dihujani berkah makanan-makanan enak.

Selanjutnya, kami ke toko kue "Orion" di Jl. Urip Sumoharjo. Di sinilah tempat membeli segala oleh-oleh atau titipan kerabat di Jakarta. Kalau ke sini, sudah pasti membeli beberapa kotak kue lapis Surabaya. Entah kebetulan atau tidak, setiap kali ke sini pasti semuanya dalam keadaan haus dan kepanasan, sehingga yang pertama dihampiri ketika masuk toko adalah kulkas minuman yang terletak di pintu masuk toko.

Pada malam harinya, kami makan Chinese Food di restoran "Centrum" Jl. RE Martadinata, mengakhiri napak tilas di Solo. Ini adalah restoran kenangan keluarga ibuku. Sejak mereka masih kecil, almarhum eyang kakung selalu menyempatkan diri untuk makan malam di sini.

Keesokan harinya, kami bergegas kembali ke Jakarta.